Rabu, 27 November 2013

Artikel Museum Textile

Keindahan Dalam Keanekaragaman: "Tradisi Tekstil Kalimantan"
(dikutip dari Katalog Pameran Wastra Borneo, Museum Tekstil Jakarta (Mei 2013)

Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, dibagi menjadi lima provinsi di wilayah Indonesia, yaitu Kalimantan Barat, Tengah, Selatan, Timur, dan Utara. Sedangkan di wilayah Malaysia timur terdiri dari negara bagian di Sarawak dan Sabah, dan kesultanan independen Brunei Darussalam. Daerah pedalaman Kalimantan dihuni oleh berbagai masyarakat Dayak, sedangkan di daerah pesisir lebih beragam, terdiri dari bangsa Austronesia di zaman kuno dan Melayu, hingga masyarakat India, Cina, dan Arab pada zaman sejarah awal; serta masyarakat Indonesia lainnya dan Eropa di era kolonial. Istilah Dayak diciptakan pada era kolonial dan digunakan sebagai istilah yang merendahkan, berhubungan dengan keterbelakangan; orang-orang pedalaman tersebut menamakan diri berdasarkan nama sungai atau lembah dimana mereka tinggal. Karena itu dalam tulisan ini akan dihindari penggunaan istilah tersebut. Terdapat persamaan serta keanekaragaman budaya yang besar baik di daerah pedalaman maupun di pesisir pulau Borneo.

Kelompok terbesar adalah masyarakat Iban yang tersebar di seluruh Kalimantan Barat dan Sarawak. Tradisi wastra dan busana mereka tersebar tidak merata. Beberapa kelompok Iban memproduksi kain tenun dengan berbagai teknik dan bahan, sedangkan kelompok lain memproduksi kain dari potongan perca, aplikasi dan menyulam kain buatan pabrik.

Kelompok terbesar kedua adalah masyarakat Ngaju dan masyarakat terkait, yang menetap di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dan hingga saat ini masih membuat kain dari kulit kayu.
Di bagian timur Kalimantan terdapat kelompok besar masyarakat Kayan, Kenyah dan masyarakat terkait yang memiliki tradisi tekstil beragam, tetapi saat ini sangat bergantung pada kain buatan pabrik yang telah menggantikan tradisi kain kulit kayu.

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat majemuk yang berbahasa Melayu, dan umumnya beragama Islam. Tradisi tekstil mereka terdiri dari tenun songket, jumputan, sulaman sutera dan beludru, tenun ikat lungsi, ikat pakan, tenun sederhana dan garis-garis, tergantung pada percampuran masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Ikat
Masyarakat Iban di Sarawak dan Kalimantan Barat terkenal akan karya selimut atau pua, jaket laki-laki, dan rok perempuan yang dibuat dengan teknik ikat lungsi yang halus. Setelah mengalami masa pertumbuhan yang lambat karena berbagai masalah ekonomi dan keamanan hingga akhir Perang Dunia ke II, kerajinan ikat dihidupkan kembali dengan adanya rangsangan dari pemerintah dan swasta.

Kedatangan imam Katolik Pater Meissen di Sintang, di pedalaman Kalimantan Barat, pada 1990-an menghidupkan kembali tradisi tenun di daerah tersebut dan berhasil mendirikan sebuah museum kecil yang didedikasikan untuk karya ikat masyarakat Iban. Juga di Sarawak, seorang bernama Edric Ong berkolaborasi dengan msyarakat Iban telah melakukan hal-hal besar yang berhubungan dengan tenun ikat di Sarawak, bahkan berhasil memperkenalkan bahan sutera kepada penenun Iban yang biasanya selalu menggunakan bahan baku dari kapas. 
Produk yang paling bergengsi dari masyarakat Iban adalah pua kumbu atau 'selimut merah’ (dengan sentuhan berwarna hitam) yang masih digunakan dalam kehidupan ritual, sebagai tirai pada ruang upacara, penutup jenazah, alas persembahan/sesajen, dan sebagai penutup gong dan gentong besar keramik (martavan). Pua kumbu juga digunakan dalam upacara penyembuhan dan untuk mengusir roh jahat.

Terdapat keanekaragaman yang besar pada wastra yang diproduksi oleh masyarakat Iban menggunakan teknik ikat lungsi, dengan keistimewaan-keistimewaan dari daerah tertentu yang dapat digunakan untuk menentukan asal kain.

Masyarakat Benuaq Kalimantan Timur juga menenun, akan tetapi mereka masih menggunakan serat yang diambil dari daun anggrek tanah yang dikenal sebagai doyo oleh masyarakat Benuaq dan lemba dalam dialek-dialek Malaysia-Indonesia. Masyarakat Benuaq membuat ragam hias terlebih dahulu pada benang lungsi sebelum ditenun menjadi kain, menggunakan teknik ikat lungsi : benang lungsi dibentang di bingkai, diikat kencang sesuai dengan ragam hias yang diinginkan, kemudian direndam dalam pewarna. Setelah kering dan ikatan dibuka, akan tampak gambar putih di atas latar berwarna. Proses tersebut diulang dua kali lagi untuk menambahkan beberapa warna. Benang lungsi yang sudah memiliki ragam hias kemudian dipindahkan ke alat tenun, umumnya berupa alat tenun gedogan, dan ditenun menjadi kain. Kain kemudian dijahit menjadi pakaian, yang umumnya berwarna cerah dengan potongan yang bagus dan dihiasi dengan kancing mewah dan berbagai perhiasan.
Teknik ikat lungsi juga digunakan di Sambas, sebuah kota Melayu, bekas pusat kesultanan di pesisir Kalimantan Barat. Penenun di sini umumnya menggunakan alat tenun bingkai untuk menenun sarung yang indah untuk laki-laki dan perempuan, sebagai hiasan kadang ditambahkan benang logam (songket) atau sulaman tangan.

Masyarakat pesisir Kalimantan Selatan yang mendiami wilayah Pagatan menenun sarung untuk laki-laki dan perempuan menggunakan teknik ikat pakan. Teknik ini lebih rumit daripada teknik ikat lungsi, diperlukan penenun ahli yang mampu memasukkan benang pakan bolak-balik melalui lungsi dengan tegangan yang konstan. Untuk membuat ragam hias, benang pakan dililitkan pada bingkai, diikat dan dicelup seperti halnya pada ikat lungsi, kemudian ditenun melalui benang lungsi berwarna polos. Penenun Pagatan membawa teknik ikat pakan dari daerah asal mereka di Sulawesi Selatan ke Kalimantan; mereka berasal dari Bugis.

Pakan Tambahan atau Songket
Masyarakat Iban di Sarawak dan Kalimantan Barat juga terampil dalam membuat tenun dengan teknik pakan tambahan, di mana sebuah pakan tambahan yang berbeda diselipkan di antara benang pakan dasar untuk menciptakan ragam hias. Jika pakan tambahan ini ditarik dari tenunan, kain tenun masih tetap utuh; pakan tambahan hanya digunakan untuk menghias kain.

Teknik pakan tambahan biasanya membentuk ragam hias pada tenunan dasar. Tetapi masyarakat Iban menggunakannya untuk membuat latar kain, menyisakan tenunan dasar terbuka untuk membentuk ragam hias. Teknik ini dikenal sebagai pilih, sebuah teknik yang digunakan untuk menghias benda-benda kecil seperti ujung cawat laki-laki, sarung perempuan, dan selendang laki-laki. Biasanya bahan dasarnya berupa katun. 
Bentuk yang lebih mahal dari pakan tambahan adalah teknik sungkit, di mana sejumlah kecil benang berwarna, pakan tambahan, dililitkan satu kali pada benang lungsi, atau pada beberapa benang lungsi secara bersamaan untuk menghasilkan ragam hias menyerupai sulaman. Pua, sarung perempuan, ujung cawat laki-laki, dan jaket prajurit, semua dibuat dengan menggunakan teknik ini.

Beberapa masyarakat Iban juga menenun songket dengan benang emas atau perak, sebuah tradisi yang berasal dari masyarakat Melayu. Produk yang dihasilkan berupa sarung perempuan dan pua yang langka.

Penenun songket benang logam yang paling mahir adalah masyarakat Melayu Sambas di Kalimantan Barat. Mereka membuat sarung, ikat kepala, dan bahan busana dari katun dan sutera menggunakan alat tenun yang memiliki dudukan untuk penenun dan tijakan untuk mengendalikan gun, di antara lain. Songket awalnya hanya dikenakan oleh kaum bangsawan, saat ini dipakai oleh siapa saja yang mampu sebagai busana resmi maupun busana pesta.

Tambal-Tambalan, Aplikasi dan Sulaman
Masyarakat di pedalaman Kalimantan yang belum pernah belajar menenun dan memiliki akses terbatas pada kain berjumlah besar yang berasal dari tempat lain, belajar membuat kain dengan cara menambal potongan-potongan kecil kain untuk dijadikan rok atau dihiasi dengan aplikasi, manik-manik, kancing, kerang , koin dan lonceng. Ragam hias yang digunakan umumnya juga ditemukan pada kain kulit kayu, menandakan bahwa kain kulit kayu digunakan sebagai pakaian mereka sebelum bahan lain tersedia untuk dijadikan busana.
Sulaman di pedalaman Kalimantan umumnya sederhana dan berkembang secara alami. Contohnya kain kulit kayu yang terbuat dari serat vertikal yang disambung dengan cara ditempa, kadang perlu diperkuat dengan jahitan. Jahitan kadang dibuat dengan mewah sesuai dengan keinginan seseorang. Sedangkan, teknik sulaman di daerah pesisir berasal berbagai tempat: Cina, India atau Timur Tengah, dan juga dari Eropa. Perempuan Eropa, guru-guru, para misionaris, dan biarawati seringkali mengajari pembantu, murid, dan tetangga-tetangga mereka menyulam kain untuk mengisi waktu luang. Sulaman benang emas mewah pada jaket bangsawan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, biasanya dibuat di Surakarta, Jawa Tengah, karena adanya hubungan yang erat di antara keduanya.

Kain Kulit Kayu
Kain kulit kayu diperoleh dengan cara membersihkan lapisan berserat dari kulit luar pohon yang keras. Massa yang berserat ini kemudian direndam dalam air, beberapa helai serat diletakkan pada batang kayu dan ditempa berulang kali dengan pemukul dari kayu atau sejenisnya. Beberapa helai serat baru terus ditambahkan hingga diperoleh sepotong kain yang lebar. Rompi perang prajurit Apo Kayan diperkuat dengan deretan jahitan sederhana dan dihiasi dengan gambar-gambar, manik-manik dan rumbai. Masyarakat Kendawang melukis pakaian kulit kayu mereka dengan warna-warna lembut dan ragam hias dengan cita rasa Melayu yang kuat. Sedangkan masyarakat Ngaju menghiasi pakaian kulit kayu mereka dengan rumbai dan aplikasi dari potongan-potongan kain katun.

Pakaian kulit kayu dan pembuatannya sebagian besar telah dilepaskan oleh masyarakat pedalaman Kalimantan, diganti dengan pakaian dari kain katun yang lebih nyaman dan siap pakai. 
Semua hal di atas merupakan teknik utama dan bahan-bahan yang dijumpai pada busana dan budaya wastra masyarakat Kalimantan saat ini. Tentu saja terdapat teknik dan bahan lain, tapi hanya menyangkut kelompok kecil masyarakat;. Terdapat pula beberapa teknik lain yang pernah dipraktekkan di masa lalu yang pada masa ini hanya diketahui dari koleksi museum-museum di dalam dan luar negeri.

Keanekaragaman seni wastra Borneo yang kaya ini merupakan bagian penting dari keindahan budaya Indonesia dan Malaysia.

Sumber : http://museumtekstiljakarta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar